Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”
Karya M. Shoim Anwar
Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia
panutan para kawula dari awal kisah
ia adalah cagak yang tegak
tak pernah silau oleh gebyar dunia
tak pernah ngiler oleh umpan penguasa
tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah
marwah digenggam hingga ke dada
tuturnya indah menyemaikan aroma bunga
senyumnya merasuk hingga ke sukma
langkahnya menjadi panutan bijaksana
kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai pengumpul suara
atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan ulama
Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin menghaturkan sembah
semua diterima dengan senyum mempesona
jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh langkah
Penghujung Desember 2020
Kritik dan Esai Puisi “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”
Puisi di atas merupakan salah satu karya dari M. Shoim Anwar, seorang sastrawan sekaligus dosen. M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. M. Shoim Anwar telah banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media, salah satunya adalah puisi Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah.
Puisi di atas dengan judul “Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah”, pengarang menggunakan nama salah satu tokoh dalam pewayangan Jawa yaitu Begawan Abyasa. Begawan Abyasa merupakan kakek dari Pandawa dan Kurawa. Sebenarnya Begawan Abyasa merupakan seorang pertapa. Begawan Abyasa datang ke istana Hastinapura karena ia dipanggil oleh permaisuri Durgandini yang tidak lain adalah ibunya untuk menikahi janda dari Citrawirya yang telah meninggal sekaligus menggantikan Citrawirya dalam bertahta. Akhirnya istri dari Abyasa melahirkan masing-masing putra yaitu Drestarastra ayah dari para Kurawa dan Pandu ayah dari para Pandawa. Setelah tiba saatnya nanti Begawan Abyasa turun tahta ia akan kembali menjadi seorang pertapa.
Bait pertama puisi di atas sebagai berikut.
Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia
panutan para kawula dari awal kisah
ia adalah cagak yang tegak
tak pernah silau oleh gebyar dunia
tak pernah ngiler oleh umpan penguasa
tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Dalam bait tersebut menggambarkan bahwa Abiyasa adalah tokoh yang bijaksana dan mulia. Ia tidak tergoda dengan kebutuhan duniawi yang mencoba menggodanya. Hal tersebut sering terjadi dalam kehidupan manusia saat ini. Dari bait puisi tersebut kita harus belajar bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari godaan, begitu banyak pengaruh dari luar yang mengantarkan kita pada kebutuhan duniawi. Oleh karena itu, kita harus mampu memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang mengubah jalan hidup kita ke hal-hal yang tidak baik.
Bait kedua puisi di atas sebagai berikut.
Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah
marwah digenggam hingga ke dada
tuturnya indah menyemaikan aroma bunga
senyumnya merasuk hingga ke sukma
langkahnya menjadi panutan bijaksana
kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata
Pada bait tersebut memiliki makna bahwa Abiyasa adalah seseorang yang memegang teguh harga diri serta kehormatan. Ia juga memiliki perasaan yang ramah dan lemah lembut sehingga orang sangat menghormatinya. Penggambaran tokoh Abiyasa tersebut mengikat kita untuk mengikuti atau menjadikannya sebagai teladan hidup. Ketika kita menyampaikan sesuatu dengan baik maka kita akan didengar oleh orang lain. Bahkan setiap perbuatan kita akan dijadikan contoh oleh orang apabila kita melakukan sesuatu dengan hati yang bijaksana dan penuh kebaikan.
Bait ketiga puisi di atas sebagai berikut.
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai pengumpul suara
atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan ulama
Pada bait tersebut menggambarkan kesederhanaan, bahwa seseorang yang berpenampilan sederhana sangat cocok menjadi pemimpin. Kesederhanaan memang selalu menjadi pilihan bagi sebagian orang. Hidup sederhana membuat kita disukai banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa banyak yang menginginkan seorang pemimpin yang sederhana.
Bait keempat puisi di atas sebagai berikut.
Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin menghaturkan sembah
semua diterima dengan senyum mempesona
jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh langkah
Bait tersebut menggambarkan tokoh Abiyasa yang bijaksana. Ia melakukan sesuatu dengan sepenuh hati dan apa adanya. Dalam kehidupan manusia saat ini banyak orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, akan tetapi masih banyak juga yang tidak. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia sering dihadapkan dengan pilihan, antara bebuat baik atau tidak sama sekali. Dari bait puisi tersebut kita harus belajar bahwa melakukan sesuatu itu harus dengan tulus dan sepenuh hati.
Dari puisi tersebut kita belajar bahwa menjadi pemimpin itu harus bijaksana dan tulus. Pemimpin dalam hal bisa dalam bentuk apapun, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam masyarakat. Dengan begitu kita akan dihormati dan dijadikan contoh bagi semua orang.
Kelemahan puisi tersebut adalah penggunaan diksinya menghasilkan bunyi dan nada yang serupa. Kelebihan dalam puisi tersebut adalah mudah dipahami.