Matahari bersinar lebih terik hari ini. Aktivitas masyarakat di pesisir Labuan Bajo pun tampak ramai. Bunyi kecipak ombak yang menampar karang-karang menenangkan hati yang sedang risau. Angin bertiup semakin kencang dan sedikit halus, menebarkan kesejukan yang menusuk sampai ke lubuk hati. Dari laut terdengar suara mesin kapal nelayan yang sangat keras. Sebagaian orang berjalan meninggalkan ruangan menikmati sepoi angin laut dan memandang percikan air dari pertempuran ombak dengan tebing karang yang memecahkan keheningan.
Aku duduk di deretan kursi yang menghadap ke dermaga. Aku duduk sambil menikmati secangkir kopi untuk menghilangkan rasa ngantukku setelah berjam-jam menunggu sandarnya kapal tujuan Surabaya. Aku melihat Astuti menyeretkan Kopernya dan melintas di depanku. Rambutnya hitam mengilat, wajahnya putih bersih, bibirnya mengilat merah, keindahan mata coklatnya dengan lekukakan tubuhnya yang mengenakan kaos biru dibalut dengan jacket merah dan jeans biru seirama dengan kaos yang dikenakannya. Menarik kursi dan duduk disebelahku.
"Hai, sudah lama nunggunya?" tanya Astuti.
"Lumayan," jawabku.
Aku terdiam dan memandang senyuman manis Astuti yang mengalihkan pandangannya dari perahu-perahu nelayan ke arahku. Aku melihat pandangan matanya bersinar membuat jantungku berdetak kencang dan membuatku menatapnya hampir tak berkedip.
"Dengan siapa?" tanya Astuti.
"Sendiri," jawabku.
Aku melihat dompet Astuti jatuh. Saat aku menyentuh dompetnya, tanpa sengaja tangan kami saling bersentuhan membuatku terkejut. Tanganku yang sedikit dingin kini terasa hangat dengan adanya genggaman tangan Astuti yang kurasa seperti belaian halus yang membuat jantungku berdetak semakin kencang dan wajahku merah sambil tersipu malu. Astuti tersenyum dan akupun tersenyum sambil tertawa kecil.
Setelah lama duduk dan bercerita, terdengar suara sirene kapal pertanda kapal segera sandar. Aku beranjak dari tempat dudukku mengambil tas kecilku berwarna hitam untuk segera menuju dermaga tempat kapal bersandar. Aku melihat Astuti meyeretkan kopernya dengan susah, mungkin isi kopenya banyak.
"Boleh saya bantu?" pintaku dan segera menyeretkan koper Astuti.
"Terima kasih, maaf merepotkan," sahut Astuti.
Suara- suara manusia bersautan di pintu masuk kapal. Beberapa ibu dan anak kecil berjalan memasuki pintu kapal. Aku segera naik ke dek kapal dan Astuti masih mengikutiku dari belakang. Keringat mengalir ke sebagaian tubuhku, setelah mengangkat koper milik Astuti. Deretan tempat istrahat sudah terisi penuh. Hanya tersisa sedikit tempat untukku. Aku harus membaginya dengan Astuti. Kusimpan koper dan tasku diatas tempat kami duduk. Terdengar suara seseorang menyebutkan "Tikar, tikar".
"Pak, tikarnya dua!" pintaku.
"Dua puluh ribu," jawab pedagang itu.
Tidak lama kami berada di dalam kapal, terdengar suara sirene pertanda kapal segera berlayar. Astuti memberiku sebotol air mineral dingin. Senyum pun kembali menghiasi wajahku. Kutatapi dengan dalam senyuman manis Astuti yang menambah kecantikan wajahnya. Aku merasa bahagia bisa bersama dengan Astuti.
Astuti terus memandang jam. Dia menopang dagunya menatap setiap detik jarum jam yang berputar. Sepertinya dia mengingat waktu detik demi detik. Aku masih duduk manis menatap layar handponeku. Astuti beranjak dari tempat ia duduk. Tanpa sengaja ia mengijak tanganku.
"Aaaahhh," pekiku menjerit kesakitan.
"Kenapa?" tanya Astuti.
"Tangan saya," jawabku.
"Maaf saya tidak melihatnya," sahut Astuti.
Astuti meraih tanganku dan mengelusnya dengan lembut. Sesekali ditiupnya tanganku. Hembusan nafasnya begitu hangat. Tubuhku gemetar, denyut jantungku semakin kecang saat Astuti menghembuskan nafasnaya ke tanganku. Rasa sakit tanganku pun hilang sekejap, seperti angin yang singgah sebentar.
Waktu pun semakin berlalu. Aku mengajak Astuti pergi bagaian atas kapal. Matahari tak terasa berubah menjadi senja. Angin semakin kencang, lautan mulai keemasan. Waktupun terus berlalu, tanpa disadari senja itu hilang. Satu persatu tiang-tiang lampu di bagaian atas kapal perlahan-lahan memancarkan sinarnya dengan berbagai jenis warna. Aku memandang Astuti dengan penuh gembira. Dari raut wajahnya Astuti kelihatannya begitu bahagia menikmati pemandangan laut dikala senja.
"Ini sangat indah," pekik Astuti.
"Iya, saya sangat menikmatinya," sahutku.
Hari semakin gelap. Semua orang masuk dalam kapal, hanya aku dan Astuti yang masih berada di atas kapal. Angin semakin kencang. Hawa dingin pun menusuk tulang Astuti. Aku mengenakan jaketku pada Astuti.
Aku duduk disebelah Astuti. Dia menatapku dengan tajam. Aku pun membalas tatapannya. Matanya menatapku dengan lekat. Membuatku tidak bisa berkutik oleh keindahan mata dan paras wajahnya yang sangat cantik. Beberapa menit Aku dan Astuti saling bertatapan. Aku meraih tangannya, dengan pelan. Hangat tangannya membuatku tak ingin melepaskan genggamanku. Astuti terus menatapku dengan begitu dalam. Semakin lama Aku mentapnya, tak terasa bibirku hampir bersentuhan dengan bibir Astuti. Aku sangat gugup, jantungku bedetak sangat cepat. Aku tidak bisa berkutik, hanya ada wajah cantik dan senyuman manis terlihat jelas di mataku. Bibirku bergemetar tak berdaya menahan gejolak, tiba-tiba handponeku berdering sangat keras. Aku menghentikan tatapanku dengan Astuti dan segera mengambil handpone dari saku celanaku. Ternyata dering itu tanda alarn yang lupa aku matikan.
Malam sangat gelap. Biru-biru laut tidak terlihat lagi, hanya suara pecahan ombak disamping dan belakang kapal yang aku dengar. Astuti menggigil kedinginan.
"Ayo kita turun!" pintaku.
"Iya, saya kedinginan," jawab astuti.
Sebagaian orang di dalam kapal sudah tidur pulas, beberapa orang sedang menonton adegan film horror di layar televisi. Aku segera menuju tempat tas dan koper Astuti simpan, dan meminta Astuti untuk segera tidur. Astuti pun segera tidur dan kembali memberikan senyuman manisnya ke arahku berdiri.
Waktu pagi tiba, aku terbangun dari tidurku. Aku melihat Astuti sedang merapikan rambutnya, rupanya Astuti baru selesai mandi. Aku beranjak menuju kamar mandi untuk segera mandi. Kamar mandi di kapal itu sangat kotor, bau tidak sedap menusuk sampai ke paru-paruku. Aku mandi dan setelah itu aku kembali ke tempat Astuti duduk. Senyuman manis Astuti kembali membuatku tersenyum padanya.
"Ayo kita keluar!" ajak Astuti.
"Iya," jawabku pelan.
Matahari tampak cerah, dan pelabuhan Tanjung Perak sudah kelihatan. Aku menikmati indahnya pagi bersama dengan Astuti. Setelah lama berdiri di luar dek kapal, Astuti meminta untuk masuk ke dalam kapal. Banyak orang sedang mempersiapkan barang-barang bawaan meraka, karena kapal segera sandar.
Suara sirene kapal terdengar sangat jelas, suatu pertanda kapal sudah sandar. Aku segera mempersiapkan barang bawaanku untuk segera turun dari kapal. Astuti masih sibuk membuang botol-botol sisa minumannya.
"Ayo kita turun!" pinta Astuti.
"Iya," jawabku.
Aku segera turun dari kapal. Orang-orang pada keluar dan mengangkat barang masing-masing. Pintu kapal begitu sesak, semua orang pada keluar. Aku tidak lagi melihat Astuti berjalan bersamaku. Aku tidak bisa melihatnya di antara banyaknya orang sekitar pelabuhan. Aku mencarinya kemana-mana di sekitar pelabuhan, tapi aku tidak menemukan Astuti. Aku juga lupa meminta nomor handponenya. Aku tidak tahu kemana Astuti pergi. Aku hanya membayangkan senyuman manis Astuti yang selalu menganggu pikiranku. Aku tidak tahu kemana Astuti pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar